We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Antara Dendam dan Penyesalan by Jus Alpukat

Bab 403
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 403 Sean tersenyum getir. “Sebenarnya nggak susah untuk menemukan donor ginjal di dunia ini. Tapi, yang susah itu mencari ginjal yang masih berfungsi dengan normal.” Selena segera mengerti apa maksud dari perkataan pria itu. Perselisihan antara Valiant dengan Poison Bug terjadi karena adanya masalah prinsip dalam kerja sama.

Hanya ada segelintir orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya dengan sukarela. Sebagian besar lainnya adalah orang-orang kotor yang mengambil organ manusia secara tidak manusiawi untuk diperdagangkan di pasar gelap.

Sean adalah sosok yang baik dan berpikiran lurus, tentu saja dia tidak ingin menerima ginjal yang didapat dengan cara kotor seperti itu.

“Tuan Sean, sebelum kamu pergi, bisakah kita melakukan tes kecocokan ginjal dulu?” *Selena, apa maksudmu?” Selena tersenyum lembut, “Seperti yang kamu bilang, aku juga merasa kita memiliki takdir yang istimewa.

Mungkin saja ginjal kita cocok, ‘kan? Kalau memang ada kemungkinan, bisakah kita membuat kesepakatan?” Sean mengerutkan keningnya, “Apa yang sebenarnya mau kamu lakukan? Cepat katakan saja, aku pasti akan membantu sebisaku.” “Mungkin kita bisa membicarakan ini setelah ginjalnya terbukti cocok. Nggak apa-apa, toh, manusia memang punya dua ginjal, kehilangan satu saja seharusnya nggak masalah, “kan?” Terlebih, dirinya sudah lama menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Melakukan sesuatu yang bermanfaat sebelum meninggal mungkin adalah pilihan yang baik.

Di dunia ini, tidak ada kebaikan yang bisa diperoleh den gratis.

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

Sean menatap wajah gadis yang ada di depannya. Meskipun usianya baru 21 tahun, matanya terlihat seperti orang tua yang telah melalui banyak penderitaan, sangat menyayat hati.

Sejenak, dia bahkan berpikir dalam hati, ‘Kalau saja dia adalah adik kandungku, aku pasti akan merawat dan melindunginya dengan baik.” “Tuan Sean, bolehkah?” Selena memohon berkali-kali.

Sean merasa bahwa dirinya tidak punya pilihan lain. “Terserah kamu saja.” Selama beberapa tahun terakhir, dia sudah mencoba melakukan tes berkali-kali dan tidak pernah menemukan ginjal yang cocok. Oleh karena itu, dia tidak percaya bahwa ginjalnya akan benar-benar bisa cocok dengan Selena.

Menurutnya, itu hanyalah angan-angan gadis kecil yang ada di hadapannya. Setelah hasilnya keluar. antusiagadis itu juga akan padam dengan sendirinya.

Dia pun membawa Selena pergi meninggalkan kasteltua itu. Saat ini Selena sudah tidak peduli lagi dengan percakapan di antara Harvey dan Lanny.

Baginya, rasa cinta yang dia miliki sudah benar-benar terkubur di dalam hatinya.

Lagi dan lagi.

Entah itu Agatha atau Lanny, tidak ada seorang pun dari mereka yang berada di pihaknya.

Meskipun Selena sadar bahwa Harvey juga merupakan korban dari rencana orang lain, dia tetap menyembunyikannya dengan rapi.

Lagi pula, apa yang bisa dia lakukan? Pada akhimya, Harvey hanyalah sosok yang jahat baginya.

Seperti Agatha, keduanya layak untuk merasakan akibat dari tindakan mereka sendiri.

Tidak ada yang perlu dikasihani.

Sean dan Selena melakukan tes kecocokan ginjal pada malam hari. Selama proses itu, Selena tidak pergi ke mana pun dan tetap berada di sekitar ruang ICU untuk memantau kondisi Maisha.

Mungkin, ini adalah satu-satunya waktu yang bisa dia habiskan bersama Maisha.

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

Setelah memanggil Maisha dengan sebutan “ibu” sepanjang hidupnya, akhirnya tibalah saat baginyal untuk mengantar Maisha ke perjalanan terakhir.

Melalui kaca tebal, Maisha terlihat menutup kedua matanya dengan erat, seolah-olah sedang tidur dengan tenang.

Selena tidak menyadari berapa lama dia telah berada di sana sampai melihat semburat fajar.

Pagi itu, dia bertemu denga Harvey.

Pria itu berjalan dengan tergesa-gesa, wajah paniknya lenyap seketika saat melihat Selena.

“Seli.” Suaranya terdengar parau karena kurang tidur.

Dibandingkan dengan ribuan emosi yang terpancar dari matanya, ketenangan Selena terasa sangat menakutkan.

Dia menatap pria itu dengan dingin, jarang sekali dia melihat ekspresi semacam itu pada wajah Harvey.

“Akhirnya kamu datang.” Harvey berjalan perlahan mendekatinya, “Selena, kamu pergi ke mana aja semalaman?” “Seperti yang kamu lihat, aku pergi ke rumah sakit. Waktu ibuku sudah tidak banyak, aku mau menemaninya di saat-saat terakhirnya.”