We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Antara Dendam dan Penyesalan by Jus Alpukat

Bab 442
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 442 Selena memegang perutnya secara refleks, tetapi karena takut Harvey tahu, dia segera menarik tangannya kembali.

Namun, gerakan tersebut malah justru membuat Harvey curiga.

Harvey mendekati Selena selangkah demi selangkah. Jantung Selena berdetak kencang.

Ketika Harvey menyentuh punggung Selena, sekujur tubuhnya bergidik dan bulu romanya berdiri. Rasa takut pun menjalar dari posisi Jari Harvey menyentuhnya ke sekujur tubuh.

Namun, Selena berusaha untuk tetap tenang.

“Apa yang kamu lakukan?” “Seli, kamu seperti takut sama aku.” Selena menelan ludah, lalu berkata dengan sinis, “Orang muak kamu bilang takut? Harvey, belum pernah ada orang yang bilang kamu sangat menyebalkan, ya? Kamu ‘kan mau menikahi Agatha, jadi jangan ganggu aku lagi!” Harvey perlahan membungkukkan badannya, hingga posisinya hampir memeluk Selena.

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

Dia berbisik ke telinga Selena, “Seli, kamu gugup sekali.” Bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.

Keringat dingin mengalir dari dahi Selena. Bahkan, Selena sendiri tak mengerti mengapa dirinya begitu ketakutan.

Mungkin peristiwa lampau-lah yang telah membuatnya bx Di alam bawah sadar, Selena dapat merasakan niat buruk Harvey.

Cara terbaik yang bisa dilakukan Selena untuk melindungi anak yang dikandungnya adalah dengan tidak membuat masalah. Makin sedikit orang yang tahu, maka makin aman pula anaknya.

Selena langsung mendorong Harvey. “Harvey, aku nggak punya waktu buat meladenimu. Sekarang sudah terlalu malam, aku mau istirahat.” Sambil mengatakan itu, Selena menarik selimutnya dan berbalik membelakangi Harvey.

Tangan yang diletakkan di dadanya dapat merasakan detak jantungnya sendiri dengan jelas. Dia benar-. benar ketakutan sampai tubuhnya bergetar tanpa sadar.

Untungnya, Harvey tak mengatakan apa pun lagi dan hanya menepuk-nepuk punggung Selena dengan lembut.

“Kamu istirahat saja.” #15 BONUS Sembari berkata seperti itu, Harvey berdiri dan menatap sekilas botol obat VC yang ada di atas meja tidur.

Selena baru bisa merasa lega ketika mendengar suara pintu tertutup dengan pelan.

Sambil mengusap keringat dingin di dahinya, dia menyadari bahwa dirinya tak bisa menjadi orang jahat.

Meskipun Harvey tak melakukan apa pun, emosi Selena hampir meluap.

Yang tidak Selena ketahui adalah ketika pintu tertutup, Harvey mengernyitkan dahi dan cahaya di matanya seketika menghilang, berubah menjadi tatapan dingin.

Yose! tidak berbohong soal ini, Selena-lah yang menutup-nutupinya.

Tampak sesosok pria di ujung lorong. Namun, saat melihat Harvey, bukannya berhenti, sosok tersebut malah pergi dengan tergesa-gesa.

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

“Tunggu.” Ternyata orang itu Lian. Dia mematung dengan wajah pucat. Setelah itu, dia menjawab dengan lembut,” Ya, Tuan Harvey.” “Angkat kepalamu.” Lian hanya bisa mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Harvey pun berkata dengan acuh tak acuh,” Kalau nggak salah, kamu ini tukang kebun.” Pelayan di Vila Mawar sangatlah banyak, setiap orang dipilih langsung oleh Harvey. Oleh karena itu, semua orang memiliki kesan terhadap Harvey.

Lian merasa terkejut, tak disangka Harvey masih mengingat orang kecil seperti dirinya.

“Benar, Tuan. Tangan Nona Selena lagi sedikit sakit dan karena menurut Nona saya perhatian, saya diminta buat merawatnya.” Harvey menatapnya tajam. “Ikut aku.” Lian merasa ketakutan dan bingung, dia tak bisa menebak apa yang dipikirkan Harvey. Dia hanya bisa mengikutinya dari belakang.

Meskipun Harvey datang setiap hari, Lian tetap merasa takut kepadanya. Dia selalu menghindari kontak mata dengan Harvey.

Lian mengikuti Harvey, masuk ke ruang bacanya. Harvey duduk, sedangkan dia berdiri.

Lian tiba-tiba teringat masa SMP ketika sedang bolos, ketahuan oleh guru, lalu dibawa ke ruang guru. Beginilah perasaannya saat itu.

Mentalnya menciut, bahkan untuk mendongakkan kepala pun dia tak berani. Tak pernah sekalipun dirinya berbicara langsung dengan Harvey.

213 Di tengah pikirannya yang kacau, suara Harvey membelah udara. “Jelaskan.”